Dahsyatnya Bollywood, Goyang Briptu Norman, dan Realita Kemiskinan

Jakarta - Briptu Norman Kamaru, anggota Brimob Polda Gorontalo, akhir-akhir ini demikian
populernya di masyarakat, pasalnya video dirinya di youtube yang sedang 'lips sync' lagu yang dinyanyikan Shah Rukh Khan yang berjudul 'Chaiyya, Chaiyya', menarik banyak pihak dan menjadi pembicaraan dari orang di pinggir jalan hingga di parlemen. Menarik karena selain lucu dan kocak, juga dikarenakan dilakukan saat dirinya berdinas resmi. Bahkan salah satu televisi berita, setiap pagi menayangkan klip Briptu Norman sepanjang durasinya, bahkan langsung membandingkan dengan penyanyinya langsung Shah Rukh Khan saat
bernyanyi di Film 'Dil Se' (Dari Hati), tahun 1998.

Atas ulah itu, pihak kepolisian sebelumnya hendak memberi sanksi kepada dirinya, namun berkat dukungan dari berbagai pihak, dari dukungan di 'facebook', dari anggota DPR, dan dari advokasi televisi yang memvisualisasikan Presiden SBY bernyanyi, maka sanksi itu tidak jadi diberikan kepada Briptu Norman. Bahkan pihak kepolisian akhirnya tidak mempermasalahak tingkahnya, bahkan mendukung bila diperlukan. Dari sikap bijak institusi polisi kepada Briptu Norman itu membuat dirinya menjadi selebritis baru. Ia sering diundang stasiun televisi untuk mengisi acara.

Menjadi pertanyaan mengapa Briptu Norman dalam peristiwa itu mendendangkan lagu India, bukan lagu-lagu popular dari Indonesia atau lagu-lagu daerah yang sangat popular seperti 'Cucak Rowo', 'Stasiun Balapan' atau 'Perahu Layar'? Itu bisa jadi karena kuatnya budaya Bollywood di Indonesia. Budaya Bollywood yang masuk ke Indonesia sejak tahun 1970 lewat film-filmnya mampu diterima oleh masyarakat Indonesia bahkan menjadi 'trendsetter'. Selepas Briptu Norman melakukan 'lips sync', televisi-televisi swasta di Indonesia pun berlomba-lomba menayangkan lagu-lagu India. Kuatnya budaya Bollywood itu, tak heran bila masyarakat Indonesia mengenal Amita Bachan, Dharmendra, Hema Malini, Ray Kapoor, Shah Rukh Khan, Kajool Devgan, dan bintang-bintang Bollywood lainnya.

Dampak kuatnya budaya Bollywood di Indonesia tidak hanya mengancam budaya nusantara, namun juga mengancam nasionalisme keturunan India di Indonesia. Banyak orang keturunan India di Indonesia, mengungkapkan bangga dengan keindiannya. Bollywood sendiri menjadi 'trendsetter' tidak hanya di Indonesia namun di berbagai
belahan dunia. Di Jerman, film yang berjudul ‘Kabhi Khushi Kabhie Gham’ dirilis besar-besaran. Film-film itu telah disulih suara dan dijual dengan judul 'Bollywood macht glucklich'! (Bollywood membuatmu senang).

Di Korea Selatan, film-film Bollywood mampu membentuk sebuah komunitas yang
bernama 'Bollywood Lovers Club'. Club yang dipimpin Kwanghyun Jung memiliki anggota
sebanyak 7000 orang yang suka menggunakan kaus bergambar Shah Rukh Khan. Dari film itu di Korea Selatan sampai ada kelas-kelas tari Bollywood.

Akibat dari film-film Bollywood, di Nigeria bagian utara, indianisasi sangat terlihat di dinding-dinding kota dan di badan-badan taksi dan bus yang bersliweran. Di taksi dan bus, stiker dan poster yang bertuliskan bintang-bintang Bollywood penuh menghiasi. Saking massifnya film-film Bollywood, 'musuh' India, Pakistan, mengalami ketakutan sehingga pasca perang India-Pakistan tahun 1965, Pakistan sempat melarang film Bollywood.

Pada tahun 2003, survei Nielsen EDI melaporkan tujuh film India masuk sepuluh besar di Inggris, sejak 1989, karena dibintangi Shah Rukh Khan. Film-film itu berjudul 'Dilwale Dulhania Le Jayenge' (Hati Berani Akan Mengambil Pengantin Wanita), 'Dil Se', dan 'Kuch Kuch Hota Hai' (Hanya Terjadi Sesuatu). Dan yang terakhir film dengan judul 'My Name Is Khan' memecahkan rekor 'box office' Inggris.

Film yang dibintangi Shah Rukh Khan itu melejit ke nomor enam 'box office' sejak
dirilis pada 12 Februari 2010. Film yang juga dibintangi Shah Rukh Khan itu mencetak sejarah sebagai sejarah sebagai film India pertama yang meraih pendapatan terbesar dalam jajaran 'box office' Inggris. Film itu meraup US$1,4 juta sepanjang masa penayangan perdana. Di Amerika pun, film tersebut menuai sukses. Sepanjang pekan awal penayangan telah meraup US$18 juta (Buku: Shah Rukh Khan The King of Bollywood).

Film produksi Bollywood selain menjadi 'trend setter' di banyak belahan dunia, menyebarkan budaya India ke seluruh dunia, juga mampu mengikat sekitar 20 juta orang India dan keturunannya yang tersebar di 110 negara. Keterikatan orang India akibat film Bollywood sama seperti orang China perantauan yang terikat dengan ikatan leluhur dari negara asalnya (China).

India bila dilihat dari tayangan film Bollywood sangat gemerlap, namun apa yang terjadi sesungguhnya sangat kebalikan dari apa yang ada di film. India meski sebagai salah kekuatan ekonomi yang baru, di samping China dan Brasil, namun di tengah-tengah masyarakat masih banyak kemiskinan. Pada awal-awal tahun 2009, UNDP memperkirakan pemukiman kumuh di India masih akan berkembang. Setidaknya 42 juta orang, setara dengan jumlah penduduk Spanyol, hidup di area kumuh di India. India juga berkutat dengan masalah gizi buruk yang dialami 57 juta balita.

Sebuah studi oleh Dewan Nasional Ekonomi Terapan India juga memperlihatkan penyebaran kemiskinan yang tidak diperkirakan di negara-negara bagian India. Disebut sebuah negara, Gujarat, selalu masuk dalam enam negara bagian India dengan pendapatan per kapita tertinggi, seperti dilaporkan oleh wartawan BBC Marianne Ladzettel. Namun pada saat bersamaan, juga masuk dalam negara bagian yang memiliki tingkat kelaparan yang meluas, bersama dengan Bihar, Orissa, dan Karnataka.

Dari sebuah bentuk kemiskinan itu ditunjukan oleh mantan Ratu India Appamma
Kajjallappa, istri ketiga Raja Venkateswara Ettappa, penguasa di Virudhunagar. Bersama anaknya, ia rela hidup di sebuah gubuk dan berjuang keras untuk mendapatkan sesuap nasi.

Ia rela hidup seperti itu sebab harta benda peninggalan suaminya, semua di sumbangkan ke rakyat. Bahkan, istana peninggalan juga sudah berubah menjadi sebuah sekolah demi memenuhi permintaan rakyat. Ia mengatakan mungkin dulu ia adalah seorang ratu, tapi kini ia bukan siapa-siapa lagi. "Kami sangat miskin," ujarnya kepada media massa.

Hidup dalam kemiskinan seperti itulah sesuatu yang tidak mengenakan, untuk melupakan kemiskinan itu, maka rakyat India melupakannya dengan dengan menonton film produksi Bollywood. Disebut dalam buku 'Shah Rukh Khan The King of Bollywood', produksi film India dalam setahun mencapai 800 film. Di dalam negeri, film-film itu mampu menyedot penonton sebanyak 15 juta sehari yang membanjiri 12.500 bioskop.

Selepas nonton film Bollywood mereka tetap miskin dan lapar, untuk melupakan kelaparan dan kemiskinan itu maka mereka menyanyi dan menari seperti apa yang terjadi di film. Dengan cara seperti itulah maka kemiskinan dan kelaparan di India bisa 'dihapuskan' atau dilupakan. Dengan belajar apa yang terjadi di India, maka apa yang dilakukan oleh Briptu Norman Kamaru merupakan cermin apa yang terjadi di Indonesia. Minimnya gaji yang diterima dan ketidakpastian hidup rakyat kecil atau orang yang berpangkat rendah, maka hal itu membuat hidup sengsara. Untuk melupakan hal demikian maka mereka menyanyi dan menari, dengan tujuan apa yang dilakukan itu bisa melupakan kemiskinan yang menderanya.

Bahkan demi melawan kemiskinan, ribuan remaja di Indonesia rela antri di bawah
terik matahari untuk ikut audisi lomba menyanyi. Dengan ikut audisi itulah mereka
bermimpi menjadi kaya dan tenar. Bila dalam audisi itu dia menang maka impiannya itu terwujud, namun bila gagal mereka tetap kembali pada realita sebenarnya, hidup dalam ketidakmapanan. Kita semua berpikir, banyak orang di Indonesia yang bernyanyi dan menari untuk melupakan kemiskinan.

Sumber detikNews

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Java itu Apa?

Perkembangan Desain Grafis di Berbagai Media

Kata terakhir untuk kamu